Sunday 13 April 2014

Filsafat


c. Bukti-Bukti mengenai adanya ALLAH

1.      Menurut Aquinas gagasan mengenai eksistensi Allah bukanlah merupakan idea bawaan (innate idea). Pendapat ini merupakan maksi terhadap pendapat St. Yohanes Damascenus yang menyatakan bahwa pengetahuan kodrati di dalam manusia. Tetapi Aquines menekankan bahwa pengetahuan kodrati mengenai Allah ini masih implisit, samar-samar dan kacau dan memerlukan penjelasan agar menjadi eksplisit. Manusia mempunyai keinginan kodrati akan kebahagiaan (beatitudo), dan keinginan kodrati mengandaikan pengetahuan kodrati; tetapi meskipun kebahagiaan sejati hanya ditemukan di dalam Allah, tidak berarti bahwa setiap orang mempunyai pengetahuan kodrati mengenai Allah: ia mempunyai suatu ide samar-samar mengenai kebahagiaan sebab ia menginginkannya, tetapi ia mungkin mengira bahwa kebahagiaan terletak di dalam kesenangan inderawi atau di dalam kekayaan, dan refleksi lebih lanjut perlu sebelum ia menyadari bahwa kebahagiaan harus ditemukan hanya di dalam Allah. Dengan lain kata, jika keinginan kodrati untuk kebahagiaan pu mungkin menjadi dasar bagi bukti adanya Allah, suatu bukti lain tetap dituntut.

Pada umumnya, kata Aquinas, kita harus membuat perbedaan antara apa yang per se notum secundum se (yang dengan sendirinya diketahui menurut adanya) dan apa yang per se notum quoad nos (yang dengan sendirinya diketahui menurut kita). Suatu pernyataan disebut per se notum secundum se jika predikat sudah tercakup di dalam subjek, misalnya di dalam pernyataan bahwa manusia adalah binatang, karena manusia adalah binatang berbudi. Pernyataan bahwa Allah ada bukanlah suatu pernyataan per se notum secundum se, sebab essensi Allah adalah eksistensiNya dan seseorang tidak dapat tahu kodrat Allah, apa itu Allah, tanpa mengetahui eksistensinya, bahwa Ia ada; tetapi manusia tidak mempunyai pengetahuan a priori mengenai kodrat Allah dan ia hanya sampai pada pengetahuan akan kenyataan bahwa essensi Allah adalah eksistensiNya setelah dia tahu eksistensi Allah, sehingga meskipun pernyataan bahwa Allah ada merupakan per se notum secundum se, ini bukanlah per se notum quoad nos.

2.      Terhadap bukti ontologis atau a priori mengenai adanya Allah yang diberikan oleh Anselmus, Aquines menjawab: pertama, tidak setiap orang mengerti pernyataan bahwa Allah “adalah sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan”. Pernyataan Anselmus ini hanya relevan bila setiap orang mengerti kata  “Allah”, yang eksistensiNya mau dibuktikan, sebagai pengada sempurna. Harus diingat bahwa Anselmus memaksudkan argumennya sebagai bukti, bukan pernyataan mengenai intuisi langsung akan Allah. Aquinas kemudian berargumentasi baik di dalam Summa contra Gentils maupun di dalam Summa Thologica bahwa pembuktian Anselmus melibatkan proses atau perpindahan yang tidak sah dari yang ideal ke tata riil. Andaikan bahwa Allah difahami sebagai Pengada yang lebih besar daripadaNya tidak dapat dipikirkan, tidak berarti bahwa secara niscaya Pengada macam itu benar-benar ada di luar pikiran, dan tidak hanya sebagai gagasan di dalam pikiran saja. Selanjutnya Aquinas mengingatkan bahwa budi tidak mempunyai pengetahuan a priori mengenai kodrat Allah. Dengan lain kata, karena kelemahan budi manusia kita tidka dapat memahami secara a priori kemungkinan positif mengenai Pengada yang maha sempurna, Pengada yang essensiNya adalah eksistensi, dan kita sampai pada pengetahuan akan kenyataan bahwa Pengada seperti itu ada tidak melalui analisis atau pertimbangan mengenai ide dari Pengada itu, tetapi melalui argumentasi dari akibat-akibatnya, yaitu secara a posteriori.  

3.      Jika eksistensi Allah tidak dapat dibuktikan secara a priori, melalui ide mengenai Allah, melalui essensiNya, maka harus dibuktikan secara a posteriori, melalui penyelidikan akan hasil-hasil Allah.

Objek-objek, baik yang rohani maupun jasmani, dapat diketahui hanya sejauh mereka ambil bagian di dalam ada, berada dalam aktus, dan budi pada dirinya sendiri adalah fakultas untuk mengerti ada. Diambil di dalam diri nya sendiri, budi berobjek semua pengada; objek utama dari budi adalah pengada (atau ada). Tetapi, kenyataan bahwa budi tertentu itu, yaitu budi manusia, membadan dan tergantung kepada indera untuk kegiatannya, berarti bahwa budi harus mulai dari benda-benda inderawi hanya sejauh benda-benda inderawi mempunyai hubungan dengan objek itu dan menyatakannya.

Karena kenyataanya budi manusia membadan, objek kodrati yang cocok dengannya adalah objek jasmani; tetapi ini tidaklah membatalkan arah dasar dari budi kepada ada (sebagai objek) pada umumnya. Bila objek-objek jasmani mempunyai suatu hubungan yang dapat diselidiki dengan suatu objek yang.


No comments:

Post a Comment