c. Bukti-Bukti mengenai
adanya ALLAH
1.
Menurut Aquinas gagasan mengenai
eksistensi Allah bukanlah merupakan idea bawaan (innate idea). Pendapat ini
merupakan maksi terhadap pendapat St. Yohanes Damascenus yang menyatakan bahwa
pengetahuan kodrati di dalam manusia. Tetapi Aquines menekankan bahwa
pengetahuan kodrati mengenai Allah ini masih implisit, samar-samar dan kacau
dan memerlukan penjelasan agar menjadi eksplisit. Manusia mempunyai keinginan
kodrati akan kebahagiaan (beatitudo), dan keinginan kodrati mengandaikan
pengetahuan kodrati; tetapi meskipun kebahagiaan sejati hanya ditemukan di
dalam Allah, tidak berarti bahwa setiap orang mempunyai pengetahuan kodrati
mengenai Allah: ia mempunyai suatu ide samar-samar mengenai kebahagiaan sebab
ia menginginkannya, tetapi ia mungkin mengira bahwa kebahagiaan terletak di
dalam kesenangan inderawi atau di dalam kekayaan, dan refleksi lebih lanjut
perlu sebelum ia menyadari bahwa kebahagiaan harus ditemukan hanya di dalam
Allah. Dengan lain kata, jika keinginan kodrati untuk kebahagiaan pu mungkin
menjadi dasar bagi bukti adanya Allah, suatu bukti lain tetap dituntut.
Pada
umumnya, kata Aquinas, kita harus membuat perbedaan antara apa yang per se
notum secundum se (yang dengan sendirinya diketahui menurut adanya) dan apa
yang per se notum quoad nos (yang dengan sendirinya diketahui menurut
kita). Suatu pernyataan disebut per se notum secundum se jika predikat
sudah tercakup di dalam subjek, misalnya di dalam pernyataan bahwa manusia
adalah binatang, karena manusia adalah binatang berbudi. Pernyataan bahwa Allah
ada bukanlah suatu pernyataan per se notum secundum se, sebab essensi
Allah adalah eksistensiNya dan seseorang tidak dapat tahu kodrat Allah, apa itu
Allah, tanpa mengetahui eksistensinya, bahwa Ia ada; tetapi manusia tidak
mempunyai pengetahuan a priori mengenai kodrat Allah dan ia hanya sampai
pada pengetahuan akan kenyataan bahwa essensi Allah adalah eksistensiNya
setelah dia tahu eksistensi Allah, sehingga meskipun pernyataan bahwa Allah ada
merupakan per se notum secundum se, ini bukanlah per se notum quoad
nos.
2.
Terhadap bukti ontologis atau a
priori mengenai adanya Allah yang diberikan oleh Anselmus, Aquines
menjawab: pertama, tidak setiap orang mengerti pernyataan bahwa Allah “adalah
sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak dapat dipikirkan”. Pernyataan
Anselmus ini hanya relevan bila setiap orang mengerti kata “Allah”, yang eksistensiNya mau dibuktikan,
sebagai pengada sempurna. Harus diingat bahwa Anselmus memaksudkan argumennya
sebagai bukti, bukan pernyataan mengenai intuisi langsung akan Allah. Aquinas
kemudian berargumentasi baik di dalam Summa contra Gentils maupun di
dalam Summa Thologica bahwa pembuktian Anselmus melibatkan proses atau
perpindahan yang tidak sah dari yang ideal ke tata riil. Andaikan bahwa Allah
difahami sebagai Pengada yang lebih besar daripadaNya tidak dapat dipikirkan,
tidak berarti bahwa secara niscaya Pengada macam itu benar-benar ada di luar
pikiran, dan tidak hanya sebagai gagasan di dalam pikiran saja. Selanjutnya
Aquinas mengingatkan bahwa budi tidak mempunyai pengetahuan a priori
mengenai kodrat Allah. Dengan lain kata, karena kelemahan budi manusia kita
tidka dapat memahami secara a priori kemungkinan positif mengenai
Pengada yang maha sempurna, Pengada yang essensiNya adalah eksistensi, dan kita
sampai pada pengetahuan akan kenyataan bahwa Pengada seperti itu ada tidak
melalui analisis atau pertimbangan mengenai ide dari Pengada itu, tetapi
melalui argumentasi dari akibat-akibatnya, yaitu secara a posteriori.
3.
Jika eksistensi Allah tidak dapat
dibuktikan secara a priori, melalui ide mengenai Allah, melalui
essensiNya, maka harus dibuktikan secara a posteriori, melalui
penyelidikan akan hasil-hasil Allah.
Objek-objek,
baik yang rohani maupun jasmani, dapat diketahui hanya sejauh mereka ambil
bagian di dalam ada, berada dalam aktus, dan budi pada dirinya sendiri adalah
fakultas untuk mengerti ada. Diambil di dalam diri nya sendiri, budi berobjek
semua pengada; objek utama dari budi adalah pengada (atau ada). Tetapi,
kenyataan bahwa budi tertentu itu, yaitu budi manusia, membadan dan tergantung
kepada indera untuk kegiatannya, berarti bahwa budi harus mulai dari benda-benda
inderawi hanya sejauh benda-benda inderawi mempunyai hubungan dengan objek itu dan
menyatakannya.
Karena
kenyataanya budi manusia membadan, objek kodrati yang cocok dengannya adalah
objek jasmani; tetapi ini tidaklah membatalkan arah dasar dari budi kepada ada
(sebagai objek) pada umumnya. Bila objek-objek jasmani mempunyai suatu hubungan
yang dapat diselidiki dengan suatu objek yang.
No comments:
Post a Comment